Minggu, 29 November 2009

still falling in love at a coffee shop

Aku benar-benar terbelalak. -nya punya -HAMPIR- semua foto aku. Bahkan ia punya foto aku saat pertemuan pertama kami. Aku dan ke-cupuan-ku. -nya dengan ke-cupuan-nya, yang aku suka.
Aku dengan kemeja pink pucatku dan celana jeans hitam, rambut dikucir kuda, kacamata kotak hitamku, menenteng tas kain lusuh kebangaanku yang berwarna krem. Di foto itu aku terlihat ling-lung, selinglung-linglungnya. Aku ingat, waktu itu aku sedang mencari temanku.

"Hei, kok foto ini masi ada di kamu?"
-nya mengangkat kepalanya dari notes yang sedang dibaca, menatapku lama, lalu berujar, "Aku ga pernah menghapus apapun tentang kamu."
Diam. Aku hanya bisa diam mendengar jawabannya.
Aku merasa pusing. Pusing melihat begitu banyaknya wajah aku sendiri yang tertangkap kamera olehnya.
Tiba-tiba -nya meletakkan notes yang daritadi dibacanya, menggeser posisi duduknya dan menghadap padaku. "Aku masih inget pertemuan pertama kita. Kamu masih inget ga?" -nya menyentuh poniku dan mengacaknya, lalu ia tersenyum. Aku diam. Aku tau, -nya yang ingin bercerita.
"Kamu planga-plongo nyari temen kamu di tengah orang-orang yang ga kamu kenal. Kamu ga make telepon seluler kamu untuk menghubungi dia. Aneh." mata -nya menatap ke jendela yang masih memperlihatkan film yang sama. Hujan.
"Lalu aku menghampirimu, dan menyapamu. Kamu menatapku curiga, sekaligus bersyukur menemukan seseorang yang tampak baik hati. Bukankah begitu?" -nya menatapku dan tersenyum. Mau tak mau aku ikut tersenyum.
"Bibirmu mengerucut saat aku berkata, 'Nampaknya kamu salah masuk ruangan', dan wajahmu sangat konyol. Aku selalu suka itu. sayanganya aku tak bisa lama-lama menganggumu, temanmu yang ternyata adalah seniorku keburu datang menyelamatkanmu."

Anganku melayang pada kejadian 2 tahun yang lalu. kali pertama aku bertemu. Aku selalu suka melihat seseorang menenteng kamera DSLR dan perangkatnya. terlihat seksi dimataku. Begitu pula dengannya. Celana jeans hitam,polo shirt hijau lumut,kacamata kotak hitam -kesamaan kami-,tas ransel yang aku yakin berisi perangkat memotret,kamera DSLR yang tergantung di lehernya,jam tangan kulit hitam,dan sepatu kets berwarna hitam yang sudah mulai memudar warnanya. Tidak tampan. Seksi dan menarik.

"Hayohh.. Ngelamunin apa lagi?" tanyanya.
"Kamu. Aku cuma ngelamunin kamu." -nya diam, seolah kehabisan kata.
-nya meraih tanganku, mengenggam jemariku, "Maaf. Maaf kalau aku hanya nyata di dalam lamunan kamu."
Aku diam. Seolah kehabisan kata.

Kami diam. Saling tatap.
Berusaha mendobrak jendela yang ada.

"Aku........"
-nya menyentuhkan jarinya di bibirku, memerintah untuk diam.
"Aku suka keheningan kita terbalut suara hujan."
Aku senyum. Dalam hati. Sejujurnya, aku pun begitu.

Kami bertatapan dalam diam, cukup lama. Sampai tak menyadari bahwa hujan telah reda.

-nya menyentuh daguku, lembut. Mengarahkan mataku pada matanya.
"Kita keluar yuk. Kameraku rindu menangkap indah wajahmu."

"Hmm.. Aku suka bau hujan.Tapi di luar terlalu ramai."
-nya, yang sudah beranjak dari tempat duduknya, kembali menghempaskan tubuhnya. "Comme vous le souhaitez, mon cherie.."

Aku merasa hangat. Aku merasa semburat hangat menjalari wajahku dan hatiku.
Ya! Aku memang jatuh cinta padanya.

"Aku suka disini. Sama kamu. Aku belum ingin keluar."
"I know..." -nya merangkulku hangat, menyentuhkan dagunya ke ubun-ubunku, mengusap bahuku perlahan.

Kami memandang keluar jendela. Memandang orang-orang yang mulai keluar dari tempat persembunyiannya. Memandang orang-orang mengejar cahaya matahari sore. Memandang -sekali lagi- apa yang MUNGKIN akan kami punya kedepannya. dan sekali lagi, merasa sakit mengetahui bahwa jawabannya masih sama, 'TIDAK ADA'.

Aku berujar dalam hati, "Kamu memang hanya nyata dalam lamunanku.."


2 komentar: